Penggantian istilah “Hukum Pidana Khusus”, dengan istilah Hukum Tindak
Pidana Khusus menimbulkan pertanyaan: “apakah ada perbedaan dari kedua
istilah ini.....?. Secara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua
istilah ini, oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah
UU Pidana yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai
penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materiil
maupun dari segi Hukum Pidana Formal.
Guna membahas lebih jauh sekaligus mensosialisasikan pengertian tersebut beserta contoh-contoh kasusnya termasuk dalam kancah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Ditjen Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM menggelar sosialisasi bertajuk ”Ketentuan Pidana diluar KUHP” pada Tanggal 17 Nopember 2009, bertempat di Tempat : Ruang Rapat A-B lantai 4 Gd. Ditjen Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Ham, JL. HR. Rasuna Said Kav. 6-7 Jakarta Selatan.
Sosialisasi menampilkan Pembicara Rudy Satriyo, Staf Pengajar Hukum Pidana-FHUI dan Narasumber Andi Hamzah, Mantan Ketua Jaksa Agung RI), serta dihadiri oleh pejabat atau perwakilan biro hukum dari berbagai instansi pemerintah dan undangan lainnya.
Dalam pemaparannya, Rudy Satriyo menyampaikan bahwa, kalau tidak ada penyimpangan, tidaklah disebut hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus. Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu.
Selanjutnya Rudy Satriyo menjelaskan pula tentang Dasar hukum dan kekhususan. UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No. 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU No 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2002 dan UU No 1 /Perpu/2002 dan UU No 2/Perpu/2002. Hk. Tp. Khusus Mengatur Perbuatan tertentu; Untuk orang/golongan tertentu Hk Tindak Pidana Khusus Menyimpang dari Hukum Pidana Matriil dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum. Dasar Hukum UU Pidana Khusus mdilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP.
Dijelaskan oleh narasumber Andi Hamzah, bahwa Hukum Pidana Khusus ada yang berkaitan dengan Hukum administrasi (HPE, Hk. Pidana Fiscal, UU No 31 th 1999 khusus masalah penyalahgunaan kewenangan). Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP, yang mengandung pengertian : (1) Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain. (2) Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).
Hukum Tindak Pidana khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap hukum pidana umum, baik dibidang Hukum Pidana Materiil maupun dibidang Hukum Pidana formal. Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golongan/orang-orang tertentu. Ruang lingkup tindak hukum tindak pidana khusus terdiri atas Hukum Pidana Ekonomi (UU No 7 Drt 1955), Tindak pidana Korupsi dan Tindak Pidana Terorisme.
Diakhir sosialisasi disimpulkan bahwa, ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU Pidana yang mengatur substansi tertentu. Hukum Tindak pidana khusus diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU pidana merupakan indikator apakah UU pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri.
Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan: “Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri” , UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai penyalahgunaan kewenangan. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi. (bhh/humasristek).
Guna membahas lebih jauh sekaligus mensosialisasikan pengertian tersebut beserta contoh-contoh kasusnya termasuk dalam kancah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Ditjen Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM menggelar sosialisasi bertajuk ”Ketentuan Pidana diluar KUHP” pada Tanggal 17 Nopember 2009, bertempat di Tempat : Ruang Rapat A-B lantai 4 Gd. Ditjen Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Ham, JL. HR. Rasuna Said Kav. 6-7 Jakarta Selatan.
Sosialisasi menampilkan Pembicara Rudy Satriyo, Staf Pengajar Hukum Pidana-FHUI dan Narasumber Andi Hamzah, Mantan Ketua Jaksa Agung RI), serta dihadiri oleh pejabat atau perwakilan biro hukum dari berbagai instansi pemerintah dan undangan lainnya.
Dalam pemaparannya, Rudy Satriyo menyampaikan bahwa, kalau tidak ada penyimpangan, tidaklah disebut hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus. Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu.
Selanjutnya Rudy Satriyo menjelaskan pula tentang Dasar hukum dan kekhususan. UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No. 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU No 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2002 dan UU No 1 /Perpu/2002 dan UU No 2/Perpu/2002. Hk. Tp. Khusus Mengatur Perbuatan tertentu; Untuk orang/golongan tertentu Hk Tindak Pidana Khusus Menyimpang dari Hukum Pidana Matriil dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum. Dasar Hukum UU Pidana Khusus mdilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP.
Dijelaskan oleh narasumber Andi Hamzah, bahwa Hukum Pidana Khusus ada yang berkaitan dengan Hukum administrasi (HPE, Hk. Pidana Fiscal, UU No 31 th 1999 khusus masalah penyalahgunaan kewenangan). Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP, yang mengandung pengertian : (1) Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain. (2) Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).
Hukum Tindak Pidana khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap hukum pidana umum, baik dibidang Hukum Pidana Materiil maupun dibidang Hukum Pidana formal. Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golongan/orang-orang tertentu. Ruang lingkup tindak hukum tindak pidana khusus terdiri atas Hukum Pidana Ekonomi (UU No 7 Drt 1955), Tindak pidana Korupsi dan Tindak Pidana Terorisme.
Diakhir sosialisasi disimpulkan bahwa, ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU Pidana yang mengatur substansi tertentu. Hukum Tindak pidana khusus diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU pidana merupakan indikator apakah UU pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri.
Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan: “Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri” , UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai penyalahgunaan kewenangan. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi. (bhh/humasristek).
Sumber: http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=4827
Tidak ada komentar:
Posting Komentar